Perantara Rezeki
Sore
itu pukul 16.45 di rumah kami. Baru 45 menit yang lalu aku masuk rumah, pulang
dari klinik biasa aku praktek. Sebelum pulang tadi, aku lewat ke penjual
martabak dan terang bulan yang biasa kami – aku dan mas Abi— pesan kalau lagi pengen
ngemil.
“Mas
temenin aku ambil terang bulan sama martabak yuk di biasanya itu. Tadi katanya
jam segini udah jadi sih.” Pintaku ke mas Abi
“Boleh.
Naik motor aja deh ya.” Jawab mas Abi
“Iya
biar cepet.” Jawabku
“Mau
bawa jas hujan satu lagi nggak? Ini yang di motor mas cuma ada satu, itu pun
yang individu pake celana.”
“Hmmm
nggak usah kali ya mas? Lagian nggak jauh-jauh amat, mendungnya juga ga gelap
banget, kayaknya sih aman.” Jawabku dengan percaya diri.
Berangkatlah
kami menuju penjual martabak dan terang bulan langganan kami. Sesampainya di
sana, cuma kurang terang bulan yang dibuat. Maklum, walaupun sudah pesan,
martabak dan terang bulan ini cukup ramai, jadi tetap harus antri.
“Sebentar
ya mbak, ini kurang terang bulan kejunya.” Si penjual sepertinya sudah hapal
dengan aku.
“Iya
pak nggak apa-apa. Saya tunggu.” Jawabku sambil tersenyum.
Si
penjual pun menyodorkan dua kursi plastik untuk kami berdua. Namun baru 3 menit
kami duduk, mulai hujan gerimis. Aku dan mas Abi saling bertatap muka was-was.
Iya, jas hujan kami hanya satu.
“Ini
ya mbak, semua enam puluh lima ribu.” Si bapak menyodorkan pesanan kami.
“Makasih
ya pak.” Aku menyodorkan uang pas pada si bapak, agar bisa segera pulang
sebelum hujan mulai deras. Belum sempat aku dan mas Abi menuju motor, tiba-tiba
hujan turun deras sekali. Sangat deras hingga nggak mungkin bagi kami kalau mau
nekat pulang.
“Yahhh
hujan mas… Gimana nih mas? Mau nunggu di sini?” Aku kecewa
“Alya,
hujan itu berkah lho…” Mas Abi mengingatkanku.
“Astaghfirullah..
Iya deng. Hehe. Maaf ya mas. Kalau ini sih bisa ditaruh bagasi motor..” aku
mengangkat martabak dan terang bulan.
“Hmmm
apa coba cari warung yang jual jas hujan deket sini ya mas..”
“Boleh.
Daripada kelamaan di sini, bentar lagi maghrib. Coba itu tuh kayaknya ada kaki
lima. Biasanya jualan jas hujan plastik.” Mas Abi menunjuk warung kecil.
“Bu..
jual jas hujan plastik nggak ya?” Tanya mas Abi pada penjual warung.
“Oh
ada mas.. Monggo mau yang mana? Yang pake bawahan atau atasan aja?” tanya
penjual itu.
Sekilas
mas Abi menatapku, “Ehmm yang atasan aja bu, saya pake rok soalnya hehe.”
Jawabku
“Silakan,
mau warna apa ini banyak pilihannya..” ujarnya sambil menyusun warna jas hujan
itu.
Aku
mengambil warna merah dan langsung membayarnya dengan uang sepuluh ribu pas.
“Terimakasih
ya mbak, mas…” kata penjual itu
Sesampainya
di rumah, aku segera mengambil piring untuk martabak dan terang bulan.
“Alya
sayang, lihat nggak tadi ekspresi penjual jas hujannya?” tanya mas Abi
“Enggak,
mas… Emang kenapa?”
“Dia
seneng banget tadi mukanya. Bisa jadi kita pembeli pertama di warungnya hari
itu? Atau mungkin setelah sekian lama nggak ada yang beli jas hujannya, kita
pembeli pertamanya?” kata mas Abi
Aku
terdiam
“Dengan
hujan tadi, kita jadi perantara rezeki dari Allah buat penjual tadi, sayang.
Jadi hujan itu berkah, perantara rezeki.”
Aku
tersenyum padanya, lalu menunduk. Malu
“Maaf
ya mas, tadi Alya khilaf….” Aku meminta maaf pada mas Abi.
“Nggak
papa.” Mas Abi tetap tersenyum
“Yuk
di makan ini keburu dingin” imbuh mas Abi.
And yes, each day, I fall far him harder and
deeper. Thanks Allah for sending me Mas Abi.
© Avina Alawya – November 2017
N.B : Ini cerita yang aku alami juga, waktu itu
lagi beli sesuatu, terus tiba-tiba hujan. Dari rumah udah ‘takabur’ ngga bawa
jas hujan dan yeah hujan. Alhamdulillah… Untung ada penjual jas hujan pas itu
jadi nggak kehujanan dan… dapet inspirasi buat nulis ini hehehe.


Comments
Post a Comment